Dunia wayang, bagi orang Jawa masa lalu, dipandang sebagai sarana untuk meng-ungkap kebutuhan manusia meliputi peribadatan (devosional), moral (ethika), keindahan seni (estetika), dan hiburan. Dengan demikian wayang bukan sekedar tontonan tentang perilaku boneka sebagai presentasi dari seseorang atau kelompok orang-orang, maka saya tidak setuju kalau pakeliran disebut dengan pertunjukan boneka (teater marionnet, puppet). Saya juga tidak sependapat apabila pertunjukan wayang disebut dengan shadow play, sebab pakeliran tidak hanya dapat dinikmati melalui bayangan; tetapi dari arah mana saja bergantung tujuan dan kepentingan masing-masing penikmat atau penonton wayang. Pemberian sunggingan warna-warni pada vigur wayang merupakan salah satu petunjuk bahwa pertunjukan wayang tidak hanya dinikmati bayangannya.
Pertunjukan wayang Jawa memiliki idiom-idiom yang hanya dapat ditangkap secara lengkap apabila menggunakan piranti budaya Jawa secara lengkap pula, oleh sebab itulah tidak semua orang mampu menangkap siratan-siratan makna yang melingkupi dunia wayang. Bagi orang Jawa masa lalu, jagat wayang bukan sekedar apa saja yang dapat ditangkap indera manusia tetapi juga segala sesuatu yang kadang-kadang tidak bersinggungan tetapi di¬singgung -singgungkan, tidak terkait tetapi sering dikait-kaitkan. Hasilnya, sangat bergantung kepada siapa yang menyinggungkan dan/atau bagaimana cara mengkaitkannya. Dengan demikian setiap upaya yang mengarah pada pemahaman tentang dunia wayang seyogyanya tidak hanya sepihak, pasial, bagian per bagian, agar memperroleh hasil yang lengkap atau konprehensip.
Jagat wayang sebenarnya juga menyiratkan dunia manusia meliputi: nafsu-nafsu, naluri-naluri, nurani-nurani, watak-watak, nilai-nilai yang kadang-kadang serba misterius; meliputi jagat cilik dan jagat gedhe yang kadang-kadang terjadi kontroversi dalam pemahaman. Kualitas dan wujud pemahaman jagat wayang sangat bergantung pada bekal yang dimiliki setiap orang; meliputi: latar belakang budaya, kepekaan estetis, keterlatihan dalam hal teknis, kebiasaan menikmati, dan kesungguhannya.
Dengan demikian apabila seseorang memiliki latar belakang budaya mistis terlalu kuat, maka pemahaman terhadap pertunjukan wayang termasuk kasus Arjuna adalah sesuatu yang serba gaib, adikodrati (supra natural), atau mistik. Andaikan seseorang terbiasa membuat othak-athik mathuk, tentu tidak mengherankan apabila pemahamannya terhadap tokoh Arjuna penuh dengan serba kebetulan atas hasil bermain kata-kata. Bagi seseorang yang terbiasa hidup dalam budaya longgar di bidang moral, akan menganggap lazim dan pantas apabila Arjuna berselingkuh dengan, bahkan merebut, istri orang.
Arjuna, dalam konteks pembicaraan ini untuk selanjutnya saya posisikan sebagai tokoh fiktif, meskipun dalam buku Sujarah Pangiwa lan Panengen Karaton Surakarta lan Ngayogyakarta Adiningrat disebutkan Arjuna telah menurunkan raja-raja Mataram. Kalaupun ada keyakinan bahwa Arjuna pernah hidup di dunia tentu sangat sulit mencari data yang sahih, apalagi melacak kebenaran geneologi yang disusun Padmasusastra dalam buku tersebut. Saya tidak mengingkari bahwa ada yang memposisikan Arjuna sebagai tokoh sentral dalam budaya Jawa . Arjuna dalam cerita wayang merupakan urutan ketiga dari kelima bersaudara Pandawa, sering dimaknai sebagai sedulur papat lima pancer. Seperti halnya saya juga tidak akan protes jika ada orang menafsir Arjuna sebagai simbol sila III (Persatuan Indonesia) dari Pancasila. Saya juga tidak menolak adanya penafsiran bahwa Arjuna sebagai simbol satriya pinandhita atau insan kamil (dalam lakon Arjuna Wiwaha) sebab dalam aktivitas budaya hal itu semuanya menjadi sah.
Pertunjukan wayang Jawa memiliki idiom-idiom yang hanya dapat ditangkap secara lengkap apabila menggunakan piranti budaya Jawa secara lengkap pula, oleh sebab itulah tidak semua orang mampu menangkap siratan-siratan makna yang melingkupi dunia wayang. Bagi orang Jawa masa lalu, jagat wayang bukan sekedar apa saja yang dapat ditangkap indera manusia tetapi juga segala sesuatu yang kadang-kadang tidak bersinggungan tetapi di¬singgung -singgungkan, tidak terkait tetapi sering dikait-kaitkan. Hasilnya, sangat bergantung kepada siapa yang menyinggungkan dan/atau bagaimana cara mengkaitkannya. Dengan demikian setiap upaya yang mengarah pada pemahaman tentang dunia wayang seyogyanya tidak hanya sepihak, pasial, bagian per bagian, agar memperroleh hasil yang lengkap atau konprehensip.
Jagat wayang sebenarnya juga menyiratkan dunia manusia meliputi: nafsu-nafsu, naluri-naluri, nurani-nurani, watak-watak, nilai-nilai yang kadang-kadang serba misterius; meliputi jagat cilik dan jagat gedhe yang kadang-kadang terjadi kontroversi dalam pemahaman. Kualitas dan wujud pemahaman jagat wayang sangat bergantung pada bekal yang dimiliki setiap orang; meliputi: latar belakang budaya, kepekaan estetis, keterlatihan dalam hal teknis, kebiasaan menikmati, dan kesungguhannya.
Dengan demikian apabila seseorang memiliki latar belakang budaya mistis terlalu kuat, maka pemahaman terhadap pertunjukan wayang termasuk kasus Arjuna adalah sesuatu yang serba gaib, adikodrati (supra natural), atau mistik. Andaikan seseorang terbiasa membuat othak-athik mathuk, tentu tidak mengherankan apabila pemahamannya terhadap tokoh Arjuna penuh dengan serba kebetulan atas hasil bermain kata-kata. Bagi seseorang yang terbiasa hidup dalam budaya longgar di bidang moral, akan menganggap lazim dan pantas apabila Arjuna berselingkuh dengan, bahkan merebut, istri orang.
Arjuna, dalam konteks pembicaraan ini untuk selanjutnya saya posisikan sebagai tokoh fiktif, meskipun dalam buku Sujarah Pangiwa lan Panengen Karaton Surakarta lan Ngayogyakarta Adiningrat disebutkan Arjuna telah menurunkan raja-raja Mataram. Kalaupun ada keyakinan bahwa Arjuna pernah hidup di dunia tentu sangat sulit mencari data yang sahih, apalagi melacak kebenaran geneologi yang disusun Padmasusastra dalam buku tersebut. Saya tidak mengingkari bahwa ada yang memposisikan Arjuna sebagai tokoh sentral dalam budaya Jawa . Arjuna dalam cerita wayang merupakan urutan ketiga dari kelima bersaudara Pandawa, sering dimaknai sebagai sedulur papat lima pancer. Seperti halnya saya juga tidak akan protes jika ada orang menafsir Arjuna sebagai simbol sila III (Persatuan Indonesia) dari Pancasila. Saya juga tidak menolak adanya penafsiran bahwa Arjuna sebagai simbol satriya pinandhita atau insan kamil (dalam lakon Arjuna Wiwaha) sebab dalam aktivitas budaya hal itu semuanya menjadi sah.
Simbolisasi apa saja yang diberikan kepada Arjuna, sebenarnya lebih mengacu pada watak dan perilaku (lelabuhan) Arjuna yang sering tampil dalam lakon-lakon wayang yang ditulis para kreator serta yang digelar para dalang dalam pakelirannya. Persoalannya adalah, tidak semua dalang, apalagi sekarang, mengacu pada kisah-kisah Arjuna dalam karya sastra maupun panduan lakon (pakem) tertulis. Hal ini terjadi disebabkan jagat pakeliran lebih banyak berkembang atas dasar tradisi lisan. Oleh sebab itu sering terjadi perbedaan radikal antara peristiwa yang dikisahkan dalam literatur dengan alur yang dilakukan dalang dalam pakelirannya. Tidak hanya itu, perbedaan juga dapat terjadi pada karakter tokoh dan geneologi. Perbedaan-perbedaan itu sudah berlangsung cukup lama, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Arjuna dalam cerita pewayangan, masa lalu, selalu tampil sempurna; baik secara fisik maupun jiwanya. Secara fisik, Arjuna diwujudkan sebagai vigur yang berwajah sangat tampan (nyaris cantik), muka menunduk, berperawakan ramping atau langsing (mbambang), berkulit kuning langsat, dan berbusana sangat sederhana, apalagi setelah menikah (dewasa) . Dalam lakon-lakon pakeliran, Arjuna sering digambarkan sebagai seorang ksatria yang berbudi luhur, pembela kebenaran, penolong setiap orang yang membutuhkan (tidak hanya sahabat atau keluarga, tetapi juga musuh-musuhnya bahkan para dewa sekalipun). Korawa sering menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri, akhirnya Arjunalah yang harus cancut tali wanda. Pada saat para dewa menghadapi serangan Niwatakawaca, akibat lamarannya terhadap bidadari Supraba tidak dikabulkan, hanya Arjunalah yang akhirnya mampu menghancurkan.
Selain itu, Arjuna telah memiliki sejumlah kesaktian dan senjata yang diterima dari berbagai pihak. Kesaktian yang dimiliki Arjuna ada 16 macam di antaranya adalah:
- panglimunan (kemayan), untuk membuat dirinya tidak terlihat, atau meng-hilang
- sepiangin, dapat berjalan tanpa membuat jejak;
- tunggengmaya, dapat menciptakan sumber air;
- mayabumi, dapat memperbesar wibawa sehinga musuhnya menjadi takut;
- asmarasedya menambah keteguhan hati menghadapi perang;
- asmaraturidha, menambah kekuatan dalam berolah rasa; dan
- kamawasita, membuat perkasadalam ulah asmara .
Senjata yang dimiliki Arjuna serba sakti, yang berupa anak panah adalah:
- Pasupati, berupa anak panah, pemberian Batara Guru;
- Ardadedali, pemberian Batara Kuwera;
- Cundamanik, pemberian Batara Narada;
- Sengkali, pemberian Drona;
- Candranila; dan
- Sirsha.
Sedangkan yang berupa keris adalah
- Sarotama
- Kalanadah
- Baruna, dan
- Pulanggen, selanjutnya diberikan kepada anaknya, Abimanyu.
Masih ada sejumlah senjata Arjuna yang lain berupa cupu, cambuk, gendewa, dan sebagainya.
Nama lain Arjuna juga cukup banyak, yaitu: Janaka, Permadi, Pandusiwi, Pritaputra, Dananjaya, Kumbalali (Kembang Ali-ali), Indratanaya, Jahnawi, Palguna, Danismara, Margana, Parta, Kariti (Kiritin), Kuntadi, Gudakésa, dan Wibatsuh. Pada saat menyamar di Matswapati Arjuna bernama Kedi (Kandi) Wrahatnala. Saat arjuna bertapa di Indrakila, Arjuna bernama Begawan Ciptaning atau Mintaraga . Ia juga pernah menyamar sebagai seorang pendeta, bernama Cèkèl Endralaya. Wahyu yang pernah diterima Arjuna di antaranya adalah: Makutarama, Purbasejati, Golek Kencana, Legundi Wulung, Linggamaya, dan Tri Manggala.
Jumlah istri Arjuna sangat banyak, tidak masuk akal. Selain beristri manusia, Arjuna juga bidadari yang berjumlah sekethi kurang siji. Nama istri Arjuna yang populer adalah: Sembadra, Srikandi, Larasati, Ulupi, Jimambang, Ratri, Dresanala, Wilutama, Manuhara, Supraba, Antakawulan, Maheswara, Retna Kasimpar, Juwitaningrat, dan Dyah Sarimaya. Seusai perang Bratayuda Arjuna sempat memperistri Banuwati . Setelah Banuwati mati, Arjuna merebut istri Arjunapati, Citrahoyi , yang segalanya mirip dengan Banuwati. Dalam cerita Mahabarata India, Arjuna juga menikahi Drupadi .
Akibat istri banyak, tentu saja melahirkan anak yang banyak pula, yaitu: Abimanyu (ibu Sembadra), Irawan (ibu Ulupi), Sumitra dan Bratalaras (ibu Larasti), Wisanggeni (ibu Dresa¬nala), Wilugangga (Wilutama), Wijanarka (ibu Ratri), Pergiwa dan Pergiwati (ibu Manohara), Prabakusuma (ibu Supraba), Kumaladewa dan Kumasekti (ibu Jimambang), Antakadewa (ibu Antaka Wulan), dan Bambang Sumbada (ibu Juwitaningrat).
Seperti lazimnya tokoh-tokoh wayang pavorit yang lain, Arjuna memiliki pilihan vigur (wanda) lebih dari dua bentuk, untuk gaya Surakarta paling tidak memiliki wanda :
- Kinanthi
- Malarsih
- Mangu
- Kanyut
- Jimat
Saat masih muda dan bernama Permadi , Arjuna memiliki wanda:
- Kinanthi
- Pengasih
- Pengawé
Barangkali sebab-sebab itu semua ketampanan, ketenaran, kesaktian, dan ke serba-lebihan maka Arjuna sering dijadikan idola masyarakat; yang kemudian dicarikan simbol-simbol (lambang-lambang), dimitoskan, dan siang ini diseminarkan secara khusus. Ada apa di balik itu semua, sehingga masyarakat Jawa masa lalu, segala yang dimiliki Arjuna selalu diungkapkan serba lebih, bahkan berlebihan jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh wayang yang lain?
Arjuna, oleh dalang sekarang sering diperankan sebagai tokoh manusia biasa yang memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam cerita bakupun, Arjuna sangat emosional saat melihat kematian Abimanyu (anaknya) dalam Baratayuda, hingga bersumpah akan bunuh diri apabila tidak mampu menebas leher Jayajrata, pembunuh Abimanyu. Sumpah Arjuna yang emosional itu sempat menggegerkan kubu Pandawa sendiri; seperti kelaziman dalam lakon wayang, akhirnya atas taktik Kresna Arjuna dapat membunuh Jayadrata. Kenapa hampir semua lakon Kresna seakan-akan selalu memanjakan Arjuna? Apakah karena adik ipar, ataukah disebabkan keduanya penjelmaan Batara Wisnu? Berkaitan dengan geneologi wayang, kenapa yang menurunkan para raja Jawa Arjuna, bukan Kresna, Puntadewa, Bima, atau tokoh yang lain? Sama-sama tokoh serba halus, kenapa bukan Puntadewa yang berperang kembang melawan Cakil dengan kawan-kawannya?
Arjuna, oleh dalang sekarang sering diperankan sebagai tokoh manusia biasa yang memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam cerita bakupun, Arjuna sangat emosional saat melihat kematian Abimanyu (anaknya) dalam Baratayuda, hingga bersumpah akan bunuh diri apabila tidak mampu menebas leher Jayajrata, pembunuh Abimanyu. Sumpah Arjuna yang emosional itu sempat menggegerkan kubu Pandawa sendiri; seperti kelaziman dalam lakon wayang, akhirnya atas taktik Kresna Arjuna dapat membunuh Jayadrata. Kenapa hampir semua lakon Kresna seakan-akan selalu memanjakan Arjuna? Apakah karena adik ipar, ataukah disebabkan keduanya penjelmaan Batara Wisnu? Berkaitan dengan geneologi wayang, kenapa yang menurunkan para raja Jawa Arjuna, bukan Kresna, Puntadewa, Bima, atau tokoh yang lain? Sama-sama tokoh serba halus, kenapa bukan Puntadewa yang berperang kembang melawan Cakil dengan kawan-kawannya?
Arjuna , dalam lakon-lakon tertentu digambarkan para dalang sekarang sering melakukan perselingkuhan, meskipun secara halus, dengan Banuwati (istri Suyudana). Dalam lakon Arjunapati, secara terang-terangan Arjuna merebut Citrahoyi dari tangan suaminya; sebab dianggap memiliki suara, tingkah laku, bentuk tubuh, kecantikan, dan watak yang sama persis dengan Banuwati yang telah mati. Selain itu, Arjuna juga sering diperankan sebagai tokoh laki-laki yang gampang tertarik pada paras cantik perempuan. Peristiwa-peristiwa semacam itu di pakeliran, menyebabkan ada sejumlah anak muda sekarang yang berpendapat bahwa Arjuna merupakan simbol laki-laki thuk-mis, don juan, dan yang sejenis.
sumber https://www.facebook.com/note.php?note_id=215884186109
Biodata
AGE : 23
Ethnictiy :
Height : 170 cm
Weight : 60 kg
Gender : Laki-laki
Health : AB
Intelegence : Memanah
Education : SMA
Evolutionary Circle : Berada pada kehidupan yang modrn
Culture : Jawa
Food/Eating : Omnivora
Mony : Average
Profession : Pemanah
Body Structure : Badan kecil
Idiosyncrasies : Kumisnya yang tumbuh mengarah ke atas
Goals : Sebagai Pahlawan yang melindungi para wanita
What make caracter difren : yang membuat karakter ini berbeda adalah bajunya yang di modifikasi serta bentuk rupa wajahnya yang ramping serta body yang kecil
Sketsa Desain Karakter Tampak
Sketsa Karakter Siluet
Sketsa Gesture pose Character
Sketsa Ekspresi Wajah
Sketsa Detail Aksesoris
Ketentuan :
BalasHapus1. Analisa tentang studi karakter yang diangkat.
2. Materi konsep karakter lengkap antara lain sketsa desain karakter tampak
depan, samping, belakang, dan 3/4 view (perspective)
3. Sketsa karakter secara siluet
4. Sketsa gesture pose character
5. Sketsa ekspresi wajah karakter (Senyum, Sedih, Takut, Terkejut, Marah, Serius, Berpikir, dan lainnya
disesuaikan dengan watak karakter)
6. Sketsa detail teknis aksesoris dan bagian-bagian lain dari karakter.
INFO PENTING:
Scanning desain karakter (tampak depan, samping, dan belakang) untuk
digunakan dalam latihan pemodelan karakter minggu depan.
Aktifkan fasilitas komentar yg tdpt di halaman blog mereka --> tujuannya spy mhsw lain
dan terutama asdos dpt memanfaatkan sbg saran asistensi dan diskusi utk meningkatkan kualitas desain karakter.